Senin, 05 Oktober 2009

cerpen: WAKTU

Seekor kucing melintas didepan mobilku tiba tiba dari arah kanan. Reflek kakiku menginjak pedal rem sehingga membuat tubuhku terlempar kearah depan. Syukurlah sabuk pengaman yangg kupakai membuat badanku tertahan beberapa cm dari kemudi mobil. Saat ak menoleh karah kiri mobil kucing itu brdiri tegak menatapku. Aku merasa beruntung tidak ada mobil yang menabrak dari arah belakang. Mungkin karena sudah gelap jarang kendaraan bermotor melintasi jalan ini. Jam digital didashboard menunjukan jam 2 lewat 14 menit dini hari.

Kepalaku kurebahkan datas kemudi mobil. Tubuhku lemas dan mataku perih. Tidak terasa air mataku mengalir jatuh. Wajah wanita yg kucintai terlintas sejenak dalam benakku lalu hilang meninggalkan. Aku mengangkat kepala dan memutuskan melanjutkan perjalanan. Dalam kegelapan satu satunya petunjuk bagiku adalah garis putih datas jalan yg diterangi lampu depan mobil.

Setelah beberapa saat dalam perjalanan itu dari arah kanan depan,trlihat sinar lampu sebuah rumah. Sambil mlintas aku memicingkan mata untuk mlihat jelas kerumah itu. Bentuk bangunan rumah itu merangsang ingatanku kmbali kmasa saat ak masih duduk di bangku kuliah. Tiap malam minggu aku brkunjung kerumah pacarku. Kami biasa duduk diberanda depan rumahnya,dmana ayahnya selalu berada didalam mengawasi kami. Beliau sangat menyayangi putri satu2nya itu.

Pernah satu kali, karena kenakalanku aku mencuri ciuman dari pipi pacarku. Tiba2 pacarku itu berteriak kaget. Ayahnya langsung berlari keluar dengan sarung celananya dangkat tinggi2. Dalam hatiku aku tertawa tapi tidak berani menunjukannya, sdangkan wajah pacarku menunduk memerah karena malu.

Aku tersenyum mengenang kejadian itu. Bberapa bulan sebelum aku wisuda ayah pacarku itu meninggal karena serangan jantung. Tanpa restunya aku menikahi putrinya yang sedang mengandung anakku. Rasa penyesalan yg datang terlambat ini membuat hatiku trasa sangat perih. Ak memasukan sebuah kaset kedalam tape mobil. Suara band goo goo dolls dengan lagunya before its too late terdengar. Lirik dari lagu trsebut sepertinya menambah suasana suram perasaanku.

Aku tidak tahu telah berapa lama aku menyetir. Sluruh tubuhku terasa begitu letih. Mataku begitu mengantuk dan sudah berteriak minta ditutup. Aku memberhentikan mobil dsisi jalan untuk sejenak beristirahat. Akan tetapi setiap aku menutup mata, wajah istriku yg tertawa terlintas berganti dengan wajahnya yg menangis. Kepingan ingatan ekspresi-nya, bahasa tubuhnya, desahannya dan sentuhanya mengalir dipikiranku seperti sdang menonton episode sebuah sinetron yg panjang. Walau tidak sepanjang sinetron televise tersanjung.

Sebuah suara dari dalam diriku meminta dan memaksaku untuk terus melanjutkan perjalanan. Tapi aku sudah terlalu letih untuk menjawab panggilan itu dan berharap tidur ditempat ini. Deg, sesuatu memukul dadaku yang entah kenapa membuat aku sedikit merasakan sesuatu kekuatan tambahan. Aku mngemudikan mobil kembali kejalan,sesuatu hal menjagaku untuk tetap sadar.

Sinar bulan trrlihat dari balik awan yang tebal jauh di depan. Ak menamakan anak perempuanku bulan saat dia lahir. Tidak karena suatu hal yang istimewa tapi karena aku menyukai bulan, itu saja. Bulan adalah seorang anak yg tidak pernah menangis(benar benar tidak pernah menangis bahkan bersuara) dan hanya mempunyai ekspresi wajah dingin. Atau setidaknya sepanjang aku melihatnya, yang hal itupun sepertinya jarang. Aku mencintainya,walau setelah mngetahui kenyataan bahwa dia bisu aku tdak pernah sekalipun menggendongnya.

Aku berteriak didalam mobil, sekuat kuatnya, sekeras kerasnya sampai tenggorokanku sakit. Berusaha mengusir perasaan yang menyiksa ini. Entah sejak kapan aku berubah menjadi seperti ini sesalku. Aku menambah kecepatan mobil. Berharap ada sebuah jurang dsisi jalan lalu membawa mobil meloncat bersamaku. Bahkan jika ada sebuah tikungan tajam pasti dengan sengaja aku tidak akan berbelok. Tapi sepanjang aku menanti sepanjang itu pula aku kecewa.

Aku menginjak pedal rem sekuat kuatnya,tubuh mobil terhempas menyeret dtengah jalan dalam posisi menutup jalan. Setelah mobil itu berhenti total aku keluar dan membanting pintunya. Aku terbungkuk dengan lututku dijalan yang gelap dan dingin. Air mataku tidak bisa kuhentikan. semua perasaan yang berkecamuk membuatku dambang kewarasanku. Tanganku meninju pintu mobil sampai penyok. Kulit tanganku tergoses dan sedikit berdarah.

Tangan ini,yang memukul wajah cantik istriku. Bukan sekali tapi beberapa kali karena aku bosan dengan kehidupan kami. Yang menghancurkan barang2 dirumah karena hal sepele. Tangan kejam ini yang bahkan membiarkan putriku demam tinggi dan pergi dari rumah menuju wanita simpananku. Sepanjang ingatanku tangan ini telah melakukan banyak sekali kesalahan tapi kenapa baru sekarang tangan ini terluka dan berdarah. Seperti darah yang keluar dari hatiku, darah sesak penuh penyesalan. Aku menyenderkan tubuhku disisi badan mobil. Lemah tak berdaya, sakit terasa perih, waras dalam kegilaan. Aku berharap ada sebuah mobil truk menggilas diriku saat ini.

Aku tertawa dengan keras,berdiri memaki dan mengutuk Tuhan. Memanggil namanya sambil berjoget digaris tengah jalan yang disinari lampu mobil. Memintanya mengambil nyawaku, pria yang jahat ini. Tapi Dia tidak menjawab panggilanku juga tidak marah mendengar kutukanku. Membiarkan aku dengan diriku sendiri. Untuk sesaat aku diam menundukan kepalaku seperti mengheningkan cipta.

Aku kembali masuk kedalam mobil merasa begitu hampa n kesepian. Aku menatap jam didashboard yang masih menunjukan waktu 02.14. Aku memasang sabuk pengaman dan menutup mataku letih tak brtenaga. Gelap dan sunyi,inilah nerakaku.

Sebuah nama terdengar pelan ditelingaku. Tapi aku tdak ingin membuka mataku, aku terlalu lemah untuk melakukan itu. Semakin lama suara itu semakin keras. Suara erangan seorang perempuan yang tidak jelas ucapannya. Suara yang tidak kukenali itu berusaha mengeja dan memanggil nama Tuhan. Suara itu seperti tersekat, seperti ringkihan kesakitan saat terdengar.

Saat aku membuka mata, sebuah sinar menyilaukan menyakiti mataku. Setelah beberapa lama akhirnya mataku telah terbiasa, aku menggerakan leherku yang terasa sakit. Disebelah aku melihat wajah bulan menatapku menangis. Bulan sepertinya bersusah payah memanggil sebutan ayah kepadaku. Saat itu aku merasakan kebahagiaan yang tidak bias kugambarkan. Istriku yang berada disamping bulan terbangun. Untuk sesaat dia menatapku lalu tersenyum, air matanya mengalir sambil memegang lembut tanganku.

Dengan susah payah aku mengangkat tanganku yang sepertinya dlilit perban,aku tidak mengetahui apa yang telah trjadi. Tapi saat ini dengan segenap kekuatan yang bisa kukerahkan aku ingin mnyentuh anak dan istriku. Hanya itu yang kuinginkan,memeluk mereka.
Populerkan, simpan atau kirim cerpen ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar