Jumat, 23 April 2010

Tugas Bahasa Indonesia 2

1. Akhadiah, Sabarti. 1988. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta : PT Gelora Aksara Pratama.

2. Silehan. Dan Soedjito. 1999. Surat Menyurat Resmi Bahasa Indonesia. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.


3. Sudjana, S. 2001. Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah, Makalah – Skripsi – Thesis – Disertasi. Bandung : Sinar Baru Algesindo.

4. Ilwan, Hatim. “Bill Gates Tak Lagi Nomor Satu.” 2010. Gatra. Jakarta : Media Group.

5. Akhadiah, Sabarti. dkk. 1989. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta : Erlangga.

6. Tahun Penerbitan : 1984
Judul Buku : Bimbingan Menulis Skripsi, Thesis
Penulis : Sutrisno Hadi
Kota Diterbitkan : Yogyakarta
Penerbit : Kikologi Gama

7. Tahun Penerbitan : 1991
Judul Buku : Prosiding Teknik Penulisan Buku Ilmiah
Penulis : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan – Direktorat Jendral Pendidikan tinggi.
Kota Diterbitkan : Jakarta
Penerbit : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan



8. Tahun Penerbitan : 1983
Judul Buku : Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Jilid 2
Penulis : Sutan Takdir Alisjahbana
Kota Diterbitkan : Jakarta
Penerbit : Dian Rakyat

9. Tahun Penerbitan : 1995
Judul Buku : The Little Brown Compact Handbook
Penulis : Jane E Aaron
Kota Diterbitkan : New York
Penerbit : Harpen Collins College Publishers

10. Tahun Penerbitan : 1974
Judul Buku : The Psychology of Language – An Introduction to Psycolinguistic and Generative Grammar
Penulis : Jane E Aaron
Kota Diterbitkan : New York
Penerbit : Mc. Grow – Hill Book Company

11. Tahun Penerbitan : 2007
Judul Buku : Ayo Belajar Berbahasa Indonesia
Penulis : Muhamad Darisman. S.Pd dan kawan-kawan
Kota Diterbitkan : Bogor
Penerbit : Yudhistira

12. Tahun Penerbitan : 1989
Judul Buku : Writing The Research Paper : A Handbook Edisi ke-5
Penulis : Anthony C Winkler dan McQuen Jo Ray
Kota Diterbitkan : New York
Penerbit : Harcout Brace Jovanovich

13. Tahun Penerbitan : 1996
Judul Buku : Kiat Menulis Artikel Iptek Populer di Media Cetak
Penulis : Markus G Lyakto
Kota Diterbitkan : Jakarta
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama





14. Tahun Penerbitan : 1991
Judul Buku : Widya Wiyata Pertama Anak-anak Bintang Sahabat Kita
Penulis : dan Steve Mc Clure
Kota Diterbitkan : Jakarta
Penerbit : Tira Pustaka

15. Tahun Penerbitan : 1991
Judul Buku : Bahasa Indonesia Untuk Mahasiswa
Penulis : Tim FS Undip
Kota Diterbitkan : Semarang
Penerbit : Universitas Diponogoro

Kamis, 15 April 2010

TITIPAN PELAUT

AYAHMU adalah seorang pelaut. Ia telah mengarungi tujuh samudera di dunia. Laut adalah kehidupannya. Sebelum Ayahmu bertemu dengan ibu, dia hanya mengisi kehidupannya di laut. Katanya lautlah yang telah membesarkan dia. Dari sebelum Bandar Melaka menjadi bandar yang ramai dikunjungi oleh para pelaut-pelaut dunia, dia telah biasa hidup di laut. Bahkan laut telah menjadi sahabatnya. Itulah sedikit sketsa sekilas cerita tentang Ayahku yang tidak pernah aku temui itu.
“Tapi, Mak, mengapa Mak tidak pernah mengajari aku sedikitpun tentang laut? Sedangkan darah dagingku adalah seorang pelaut ulung?”
“Hal itulah yang tidak aku inginkan. Karena jika kau menjadi seorang pelaut, maka Mak akan sulit untuk bertemu dengan kau. Pasti kehidupan kau hanya ada di laut. Apalagi di pelabuhan Malaka ini telah ramai sekali Pedagang-pedagang dunia yang singgah, jalur untuk kau menjadi seorang pelaut akan sangat mudah,”
“Lalu bagaimana Mak bertemu dengan ayah, sedangkan hidup ayah hanya ada di laut?”
“Itulah keajaiban cinta, nak. tidak ada seorangpun yang bisa menduga, takdir cinta itu sudah ditentukan oleh yang maha kuasa, siapa menduga kalau Mak bisa menikah dengan seorang pelaut, sedangkan Mak kau sendiri berasal bukan dari keluarga pelaut.”
Cerita itu yang selalu Ibu ceritakan kepadaku. Pada akhir hikayatnya, ia pasti akan mengatakan kalau cintanya kepada ayahku karena keajaiban semata. Dan ia akan mengatakan kalau itu sudah takdir yang tidak mampu diubah oleh manusia manapun, termasuk dirinya sendiri.
Aku memang tidak pernah melihat wajah ayahku. Tapi kata Ibuku, wajahku mirip sekali dengan wajah ayahku. Sifat dan karekternya pun sangat mirip denganku. “Jika kau penasaran dengan ayahmu, maka segeralah kau pergi ke Kubangan, maka cerminan wajah ayah kau ada pada dirimu.”
Bandar Malaka sebelum jatuh ke tangan Portugis adalah Bandar yang sangat maju. Semua pedagang-pedagang dari Asia dan Eropa selalu singgah untuk membeli rempah-rempah yang didatangkan dari Nusantara. Rempah-rempah yang diperdagangkan adalah berupa pala dan lada. Pedagang-pedagang yang datang adalah dari Arab, China, India dan beberapa negara Eropa seperti Inggris, Spanyol dan Prancis. Para pedagang itu memiliki kapal-kapal layar yang sangat besar. Apalagi kalau kapal dagang itu milik Inggris. Dari kejauhan sudah sangat kelihatan megahnya.
Mungkinkah Ayahku bekerja di salah satu kapal-kapal itu? Tapi ibuku tidak pernah menjawabnya. Dia hanya diam seribu bahasa. Ketika pertanyaan itu kulontarkan pada ibu. Entah mengapa ia pasti akan berlalu. Ayahku hidup atau mati pun aku tidak pernah tahu. Dan akhirnya pada suatu malam itu ketika aku desak, ibuku akhirnya menceritakan tentang ayahku dan ke mana sekarang ia pergi sehungga tidak pernah kembali.

*****
“Aku akan kembali Dinda, tunggulah aku di Dermaga ini hingga peperangan ini selesai. Sudah tidak ada cara lain lagi untuk memerangi mereka, “Pantang melayu hilang di Bumi!” Selama ini Malaka adalah negeri yang damai, tidak ada satupun peperangan yang terjadi. Meski aku hanya seorang Lanun, tapi aku tetap tidak rela jika Malaka bisa dikuasai oleh bangsa lain.”
Perempuan yang dipanggil Dinda hanya diam. Tapi air matanya tidak bisa ditahan lagi. Bulir-bulir air mata itu menandakan kepedihan yang sangat dalam. Sementara sekarang ia sedang hamil tua. Laki-laki itu pergi ke Pantai. Beberapa orang temannya sudah me-nunggu. Ia masih menatap kepergian suaminya.
Dengan hanya menggunakan sampan biasa, ia dan rakan-rakannya terus pergi. Di tengah laut, Kapal milik raja sudah ada yang berlabuh. Para angkatan laut Kerajaan Melaka telah menyiapkan segala perlengkapan perang untuk memerangi angkatan laut Portugis. Di Perairan selat Malaka Ratusan Kapal Portugis telah berlabuh di tengah lautan. Mereka tinggal menunggu arahan untuk menakluki kota Melaka.
Pada awalnya sang raja tidak mempercayai jika Portugis akan menyerang kota Malaka. Tapi setelah mendengar berita bahwa Pelabuhan-pelabuhan penting di Nusantara telah berhasil dikuasai oleh Portugis. Menanggapi itulah sang Raja memilih untuk mencegah pasukan Portugis memasuki kota Malaka. Raja mengumpulkan semua angkatan laut Malaka agar segera bersiap. Perang akan terjadi. Ternyata berita itu sampai di telinga rakyat jelata. Sehingga rakyatpun membuat inisiatif untuk ikut berperang melawan Portugis meski dengan hanya menggunakan sampan biasa. Mereka tidak gentar. Mereka tidak rela jika bumi Melayu jatuh ke tangan Portugis.
Maka berita itu juga sampai ke telinga Awang. Ia adalah seorang lanun. Biasa membajak kapal-kapal pedagang dari Arab, China juga dari Nusantara. Mendengar berita penyerangan Portugis, naluri cinta tanah airnya menggebu. Ia dan beberapa rekan Pembajaknya pun merencanakan untuk ikut dalam peperangan ini. Merasa laut adalah rumahnya, maka hanya ada satu kata yang harus mereka pegang, “Perang.” Dan laut akan memberi kemenangan pada mereka.
Alhasil merekapun ikut dalam kumpulan rakyat jelata dengan menggunakan sampan biasa, di tengah laut itu dipenuhi oleh sampan-sampan rakyat biasa. Mereka semua satu hati untuk memerangi Portugis. Hati mereka sedikitpun tidak gentar ketika melihat kapal-kapal perang Portugis yang telah menyambut mereka dengan mengarahkan moncong-moncong meriam ke arah mereka.
“Seraaaang!!!!” seru Laksamana.
Maka dengan semangat menggebu mereka mengayuhkan sampan menuju kapal-kapal Portugis yang juga mengeluarkan tembakan meriam ke arah mereka. Letusan peperangan angkatan laut itupun pecah dengan masing-masing pihak saling serang. Awang pun menyerang membabi buta. Dengan sebilah keris ia bisa membunuh satu persatu pasukan Portugis ketika sampan-sampan mereka berhasil merapat ke salah satu kapal Portugis dan menyerang seluruh awak yang ada dalam kapal itu. Dan akhirnya satu buah kapal Portugis berhasil mereka takluki. Mereka tidak memberi ampun kepada tentara-tentara Portugis yang ada dalam kapal itu. Semuanya mati mereka bunuh.
“Horeeeeeeee!!!” mereka berseru beramai-ramai. Awang pun ikut dalam euforia itu. Dari kejauhan laksamana hanya tersenyum melihat kapal itu berhasil ditakluki. Ketika semua larut dalam euforia itu, tiba-tiba sebuah tembakan Meriam menuju ke arah mereka. Dan tanpa sepengetahuan mereka dua kapal Portugis telah merapat ke arah mereka langsung melepaskan tembakan betubi-tubi menggunakan meriam-meriam yang ada di sekelilingi kapal-kapal itu ke arah mereka.
Akhirnya Awang dan rekan-rekannya hanya memberi perlawanan tidak berarti. Mereka kocar-kacir dalam kapal tersebut. Sementara tembakan terus saja di lepaskan oleh tentara-tentara Portugis. Laksmana yang melihat hal itu mencoba membantu, tapi mereka pun ditubikan dengan tembakan-tembakan dari kapal Portugis yang lain. Kapal yang dinaiki Awang semakin mendekati masa yang kritis. Para awak di dalamnya banyak yang menjadi Korban tembakan dari meriam-meriam Portugis.
Awang yang melihat keadaan yang tidak berimbang itu semakin panik. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Dan lambat laun kapal yang dinaikinya itu tenggelam dan akhirnya hilang di atas permukaan laut bersama Awang. Sementara angkatan laut kerajaan terus berperang sampai titik penghabisan. Terus berusaha melawan tentara Portugis dengan segala upaya.

*****
“Kekalahan angkatan laut Kerajaan Malaka membuat Potrugis berhasil memasuki kota Malaka dan menaklukkan seluruh kerajaan Malaka. Sejak itu Bandar Malaka tidak ramai dikunjungi pedagang-pedagang negeri lain, karena Portugis telah menguasai pelabuhan Malaka dan meminta upeti begitu tinggi. Mak hanya mendengar berita dari orang-orang yang berhasil lari dari peperangan itu dan mengatakan mungkin Ayahmu ikut mati dalam peperangan tersebut. Tapi keyakinan Mak mengatakan bahwa Ayahmu tidak mati. Dia pernah mengatakan kalau laut adalah sahabatnya, tidak mungkin sahabat tega membunuh sahabatnya sendiri. Lagi pun Mak tidak pernah menemui jenazah ayahku hingga sekarang.”
Ibuku mengakhiri ceritanya dengan air mata. Aku sendiri merasa bangga mendengar cerita ibuku, walaupun pada awalnya ayahku adalah seorang Lanun, tapi ia telah mengorbankan raganya untuk membela Bandar Malaka jangan sampai jatuh ke tangan Bangsa lain. Sejak Malaka jatuh ke tangan Portugis, kerajaan-kerajaan Nusantara semuanya mengumumkan perang kepada Portugis.
Tapi aku sendiri setelah mendengar cerita ibuku, semangat menggebu untuk menjadi Pelaut merasuki seluruh ragaku. Keinginan itu belum aku utarakan pada ibu karena aku tahu ia pasti melarang aku menjadi seorang Pelaut. Tapi aku akan berusaha membujuknya. Karena aku adalah anak seorang pelaut, pembajak sekaligus pahlawan yang tidak di kenal di Bandar Malaka.

SANG PECUNDANG

Akhirnya aku kembali ke tempat ini. Aku tidak bisa menahan perasaanku untuk tidak menemuinya lagi. Aku hanya ingin melihatnya dari jarak yang agak jauh, dari tempat yang agak terlindung. Dari balik malam, dengan leluasa aku bisa melihatnya tertawa dan tersenyum --tawa dan senyum yang dibuat-buat-- di hadapan para tamu.

Tempat dia duduk menunggu tamu cukup terang bagi mataku, meski tempat itu hanya ditaburi cahaya merah yang redup. Aku masih bisa merasakan pancaran matanya yang pedih. Aku merasa dia sedang memperhatikan aku. Aku berusaha bersembunyi di balik kerumunan para pengunjung yang berseliweran di luar ruangan. Tapi sejenak aku ragu, apakah benar dia melihatku? Ah, jangan-jangan itu hanya perasaanku saja. Aku yakin dia kecewa dengan aku. Dia kecewa karena aku gagal membawanya pergi dari tempat ini.

Hampir setiap malam aku mengunjungi tempat ini hanya untuk melihatnya dari kegelapan dan memastikan dia baik-baik saja. Aku seperti mata-mata yang sedang mengintai mangsanya. Atau mungkin aku seorang pengecut yang tidak berani menunjukkan batang hidung setelah kegagalan yang menyakitkan hatiku. Atau bisa jadi aku telah menjadi pecundang dari kenyataan pahit ini.

Biasanya aku akan datang sekitar jam delapan malam. Aku memarkir motor di kegelapan dan berjalan perlahan menuju tempat dia biasa menunggu tamu. Jelas aku tidak akan berani masuk ke dalam ruangan yang pengab dengan asap rokok dan bau minuman itu. Aku terlanjur malu dengan dia. Makanya, aku hanya berani berdiri di luar, di dalam kegelapan, dengan tatapan mata yang sangat awas yang tertuju pada ruangan di mana dia duduk santai sambil mengepulkan asap rokoknya.

Seringkali aku dibakar api cemburu ketika ada lelaki yang menghampirinya dan merayunya. Api cemburu itu semakin menjadi-jadi ketika dia juga meladeni lelaki yang merayunya dengan senyum dan tawa. Dan hatiku benar-benar hangus ketika kulihat dia masuk ke dalam biliknya ditemani lelaki itu. Saat itu juga batok kepalaku dipenuhi berbagai pikiran-pikiran buruk. Ya, sudah jelas, di dalam bilik sederhana itu mereka akan bergulat, bergumul, dan saling terkam dalam dengus napas birahi.

Ah, sebenarnya tidak begitu. Itu hanya pikiran-pikiran burukku saja. Aku tahu dia perempuan lugu yang terjebak dalam situasi seperti itu. Semacam anak kijang yang masuk perangkap pemburu.

Aku merasa aku telah jatuh hati padanya. Kamu tahu, bagaimana proses jatuh hati itu kualami? Baiklah, akan kuceritakan untukmu. Saat itu aku diajak oleh kawan karibku datang ke tempat ini. Kawanku itu menemui langganannya. Sedang aku hanya bengong-bengong di ruangan sambil minum kopi. Seorang ibu paruh baya menghampiriku. Dengan mata genit ibu itu mengatakan padaku kenapa aku tidak masuk kamar? Aku bilang bahwa aku lagi ingin sendiri, lagi ingin menikmati suasana saja. Ibu itu mengatakan ada yang baru, masih belia, baru datang dari kampung. Ibu itu bilang usianya baru 15 tahun. Dalam hati aku tertarik juga dengan perkataan ibu itu. Wah, masih belia sekali? Aku jadi ingin tahu kayak apa perempuan yang dibilang belia itu? Ibu tua itu kemudian memanggil dia.

Sehabis mandi, ibu tua itu mengantar perempuan itu kepadaku. Dengan malu-malu perempuan ingusan itu duduk di sebelahku. Dia hanya diam dan tidak berkata-kata. Wajahnya manis dan memang masih bau kencur. Entah anak siapa yang disesatkan ke tempat seperti ini. Ibu tua itu menyuruhku segera mengajaknya masuk kamar, tentu dengan tarif khusus, lebih mahal dari biasanya.

Di dalam kamar, perempuan itu masih diam, tak banyak bicara. Dari wajah kekanak-kanakannya terpancar perasaan cemas dan keragu-raguan. Aku jadi iba melihat tingkahnya yang memelas itu. Aku segera mencegah saat dia hendak melucuti busananya. Dia bingung dengan tingkahku.

"Saya harus melayani tamu saya," jelasnya.

"Aku tak perlu dilayani. Aku hanya ingin ngobrol denganmu. Dan aku akan tetap membayar sesuai tarif yang telah disepakati," ujarku.

Aku menatap wajah yang lugu itu. Entah kenapa aku jadi tidak tega dan merasa simpati dengan dia. Mungkin aku terjebak pada pancaran matanya yang begitu diliputi kepolosan sekaligus kecemasan. Aku telah mengenal sejumlah perempuan yang bekerja seperti ini. Tapi dengan perempuan satu ini, aku merasakan dalam diriku bangkit suatu keinginan menjadi hero, ingin menyelamatkannya.

Aku mendekapkan kepalanya ke dadaku. Aku membelai-belai rambutnya yang sebahu. Tiba-tiba saja aku merasa menjadi seorang kakak yang ingin melindungi adiknya dari segala marabahaya.

"Mengapa kamu bisa berada di tempat seperti ini?" tanyaku lirih. "Seharusnya kamu menikmati masa-masa sekolahmu, seperti teman-temanmu yang lain.."

Perempuan itu diam dan menatapku lembut.

"Saya tidak tahu, Mas. Saya diajak oleh tante saya ke sini. Saya dijanjikan pekerjaan dengan gaji yang menggiurkan. Tapi ternyata saya dijebak di sini oleh tante saya sendiri."

Aku kaget mendengar pengakuannya yang memilukan itu. Diam-diam dalam hatiku, rasa kasihan perlahan menjelma rasa simpati dan keinginnan untuk mengasihinya.

"Kamu ingin pergi dari tempat ini?"

"Ya, jelas, Mas. Tapi bagaimana caranya saya bisa pergi dari sini?"

"Aku akan ngomong sama bosmu."

"Mustahil, Mas!"

"Mengapa mustahil?"

"Mas tidak paham situasi di sini. Sekali perempuan terjebak dalam tempat ini, maka seumur hidup akan berkubang di sini."

"Tidak. Aku akan menyelamatkanmu. Kamu harus melanjutkan sekolahmu. Dan kamu mesti cari kerja yang lebih bagus dari kerja begini."

Perempuan bau kencur itu menundukkan kepalanya. Matanya memancarkan harapan, harapan bagi sebuah kebebasan.

Aku cium keningnya. Aku bisikkan beberapa patah kata agar dia bersabar dan tabah. Aku ke luar dari bilik dengan perasaan gundah.

"Gimana, Mas? Bagus, kan?" Ibu paruh baya itu berdiri di depan pintu dan mengerlingkan mata genit ke arah mataku.

Tiba-tiba saja aku ingin muntah melihat tampang ibu genit itu.

"Aku ingin ngomong sama bosmu," ujarku dengan nada agak geram.

"Ada apa, Mas? Apa servisnya tidak memuaskan ya...? Wah, kalo gitu saya akan lapor ke bos."

"Jangan. Bukan masalah itu. Ada yang aku ingin bicarakan sama bosmu. Tolong panggil dia."

Perempuan paruh baya kepercayaan bos itu tergopoh-gopoh menemui bosnya. Tak berapa lama, dia muncul kembali mengiringi perempuan agak gembrot dengan wajah menyiratkan kelicikan.

"Ada apa, Mas? Apa dia tidak melayani Mas dengan baik?"

"Bukan masalah itu, Bu. Kira-kira kalau aku ingin mengajak dia keluar dari sini, gimana?"

Wajah perempuan gembrot yang licik itu seketika berubah curiga.

"Maksud Mas gimana?"

"Aku ingin mengajak dia pergi dari sini."

"Kalau begitu Mas harus menebusnya Rp 5 juta, gimana?"

Aku terkesiap. Gila benar si gembrot ini. Mengapa aku mesti menebusnya sebanyak itu? Bukankah setiap orang berhak memilih kebebasannya?

"Kenapa aku mesti menebus sebanyak itu? Dia bukan barang mati. Dia manusia yang memiliki kebebasannya," ujarku geram.

Si gembrot tersenyum sinis.

"Mas ini kayak tidak mengerti aja. Dia berada di bawah pengawasan dan tanggung jawab saya. Tantenya telah menitipkan dia pada saya."

"Kalau begitu, kamu tidak berhak menjual dia dengan mempekerjakan dia sebagai pelacur," ujarku semakin geram melihat tingkah si gembrot.

"Hidup makin sulit Mas. Semua orang perlu uang dan sekarang ini segala sesuatu diukur dengan uang. Begini saja Mas. Kalau Mas mau membawa dia, maka Mas sediakan uang Rp 5 juta. Itu saja."

Si gembrot sambil menggerutu pergi meninggalkan aku yang masih terbengong-bengong. Sejenak aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Aku pun pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan luka. Sepintas kulihat mata perempuan yang ingin kuselamatkan itu berkilat basah menatap kepergianku.

Beberapa hari kemudian aku berusaha mendapatkan uang sebanyak itu untuk menebus dia. Aku berusaha meminjam kepada kawan-kawanku. Namun usaha kerasku hanya berbuah kesia-siaan. Aku hanya bisa mengumpulkan Rp 2 juta. Aku kembali ke tempat itu dan mencoba tawar-menawar dengan si germo gembrot, tapi sia-sia belaka. Si gembrot tetap pada pendapatnya semula.

Aku merasa kecewa dengan diriku sediri. Aku tidak berdaya menyelamatkan dia. Aku tidak habis-habisnya mengutuki diriku sendiri, mengapa aku tidak berkesempatan jadi orang kaya.

Maka seperti saat ini, setiap malam aku hanya bisa menatap dia dari kegelapan malam. Sambil menahan hatiku yang hampir hangus dibakar cemburu, aku melihat dia bercengkerama dengan para tamu. Sepertinya dia bahagia dengan pekerjaan yang dijalaninya. Setiap melihat senyum dan tawanya, aku merasa bersalah sekaligus kecewa dengan diriku sendiri. Pada akhirnya aku hanya jadi pecundang.***

Tetap Sahabatku

Dia adalah sahabatku bahkan lebih
Dia adalah yang diburu datang padaku
Sekedar lepas lelah dan sembunyi untuk berlari lagi
Dia adalah yang terbuang mengetuk pintuku
Penuh luka dipunggungnya merah hitam
Dia menjadi terbuang setelah harapannya dibuang
Bapaknya pegawai kecil kelas sendal jepit
Yang kini didalam penjara sebab bela anaknya
Untuk darah daging yang tercinta selesaikan sekolah
Sahabatku gantikan bapaknya coba mencari kerja
Namun yang didapat cemooh harga dirinya berontak
Lalu dia tetapkan hati hancurkan sang pembuang
Air putih aku hidangkan aku dipersimpangan
Aku hitung semua lukanya seribu bahkan lebih sejuta lebih
Pagi buta dia berangkat diam-diam
Masih sempat selimuti aku yang tertidur
Aku terharu do'aku untukmu . . . . . . o . . . . . . . .
Sebutir peluru yang tertinggal dibawah bantalnya
Kuberi tali jadikan kalung lalu ku kenakan
Sekedar mengingatmu kawan yang terus berlari
Selamat jalan kawan selamat renangi air mata
Hey sahabat yang terbuang engkau sahabatku tetap sahabatku
Engkau sahabatku tetap sahabatku . . . . . . . . . .

Selasa, 13 April 2010

Paragraf Deduktif

Pada waktu sekarang kemiskinan di indonesia semakin meningkat. Apalagi setelah kenaikan BBM kemarin. Semua harga barang naik. Kenaikan itu semakin menyusahkan rakyat Indonesia, terutama keluarga yang tidak mampu. Banyak keluarga yang untuk makan saja tidak ada, apalagi untuk membeli susu anaknya. Kondisi ekonomi yang sulit itu, juga menyebabkan banyak anak putus sekolah. Mereka lebih memilih untuk membantu orang tua dari pada bersekolah. Hal itu disebabkan karena orang tua mereka tidak mempunyai biaya untuk mereka sekolah. Keadaan ini juga memaksa anak-anak yang tidak untuk meminta-minta di jalanan. Hal itu terpaksa mereka lakukan demi mambantu orang tuanya.



Paragraf Induktif

Jangan pernah belajar “dadakan”.
Artinya belajar sehari sebelum ujian. Belajarlah muai dari sekarang. Belajar akan efektif kalau belajar kumpulan soal. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menjawab soal-soal di buku kumpulan soal. Mencocokannya, lalu menilainya. Barulah materi yang tidak dikuasai dicari di buku. Itulah beberapa tips belajar menjelang Ujian Akhir Nasional



Paragraf Campuran


Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat dilepaskan dari komunikasi. Kegiatan apa pun yang dilakukan manusia pasti menggunakan sarana komunikasi, baik sarana komunikasi yang sederhana maupun yang modern. Kebudayaan dan peradaban manusia tidak akan bisa maju seperti sekarang ini tanpa adanya sarana komunikasi.