Selasa, 18 Mei 2010
Aku, Ibu dan Kuliah
Gerimis subuh membangunkanku dari tidur. Rintikan air yang mengayun di atap kamarku yang terbuat dari seng besi selalu menjadi lagu brisik yang menggugah. Aku melangkah ke bagian belakang rumah, kumendapati ibuku yang sedang aktif di depan tungkku. ”Uhuk...uhuk..”ibuku terbatuk, wajar saja, asap tebal yang lahir dari kayu bakar terkadang dihirupnya tanpa sengaja. ”Masak apa mbok...?” Tanyaku berbasa-basi membuka interaksi dengan ibuku. ”Lha biasa, masak air, nyayur dan goreng tempe” jawabnya lembut. ”Sambelnya ga ketinggalan tho...” sahutku sambil nyengir dan ibuku membalas dengan senyumnya yang seperti biasa nampak bercahaya dan ikhlas. Ibu, sosok yang kucintai tiada tara. Dia adalah satu-satunya sosok yang sanggup membuatku terharu. Hatikupun selalu menangis bila melihat pakaiannya yang tak pernah bagus, kulitnya yang mulai keriput, dan rambutnya yang mulai tampak memutih. Kami tinggal hanya berdua. Dengan sawah peninggalan ayah yang tak seberapa luas, kami bertahan hidup. Setelah merampungkan kesibukan pagi di rumah, ibu bergegas ke pasar untuk berjualan beras. Kecuali Kamis dan Senin, ia biasa merajut kain karena ia tak disibukan aktifitas pasar yang libur pada dua hari tersebut. ”Nak, kamu sudah solat subuh?” Pertanyan ibu memecahkan lamunanku. ” Belum” singkat jawabku. ”Sudah, buruan solat....”Aku masih lunglai sehabis tidur, ada pikiran yang masih menggantung dalam benakku yang ingin kuutarakan. ”Mbok....aku pengen kuliah” begitu saja kalimat terucap. ”Aku pengen lanjut belajar di Perguruan Tinggi, mbok...” Seketika ibu memelukku erat. ”Nak, apapun yang kamu inginkan ibu akan usahakan, terlebih ini buat belajarmu, kan?” Aku menagkap izin dari kalimat ibu. ”Boleh bu?” dan ibu menjawab ”boleh,nak....” Kupeluk balas pluk erat ibuku. Hatiku menagis di antara gembira dan sedih. Gembira karena ibu mengizinkanku untuk melanjutkan jenjang pendidikanku yang lebih tinggi dan sedih karena aku tahu, ada konsekuensi yang hadir setelah keputusan ini. Aku dan ibu akan berpisah, aku akan meninggalkan ibuku sebatang kara di rumah. Belum berbicara masalah biaya, aku sangat paham, ibu akan kian membanting tulang demi mengais rupiah untukku belajar di Perguruan Tinggi. Ibuku yang malang. ”Aku solat subuh dulu ya mbok...” Kunikmati pecikan air wudhu dari gentong yang mengalir. Kurasakan tiap lantunan huruf hijaiyah dalam solatku. Kuakhiri dengan sebait permohonan tentang harapan yang menjulang. Dalam hatiku menanam janji, aku akan serius belajar di bangku kuliah, aku serius untuk menjadi orang sukses, aku serius untuk membelikan ibu baju bagus suatu hari nanti. Ibu, aku pamit.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar