Senin, 14 Januari 2013

Pembenaran untuk Sayidina Abu Tholib

 Sayidina Abu Tholib, Mukmin Quraish

          Menurut berbagai macam versi sejarah, tidak diragukan lagi bahwa Abu Tholib adalah salah satu tokoh pahlawan Muslimin. Terbukti pada awal penyebaran agama Islam, Muhammad Saw selalu dilindungi oleh Abu Tholib. Bahkan, slogan yang berbunyi “selama Abu Tholib hidup tidak ada yang berani menggangu Muhammad Saw“ itupun masih selalu terdengar hingga umat Islam yang hidup saat ini.
           Namun sayangnya, juru kunci Ka’bah yang juga merupakan paman, pengasuh, sekaligus pelindung bagi Rosullulah ini, dikatakan meninggal dalam keadaan kafir. Anehnya, satu-satunya argumen yang memuat pernyataan tersebut hanya terdapat dalam kitab Shohih Bukhori. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa ketika menjelang ajalnya, Abu Tholib tidak mengucapkan dua kalimat syahadat. Oleh karenanya, mayoritas umat Islam masih meyakini bahwa Abu Tholib meninggal dalam keadaan kafir.
          Akan tetapi pada tatanan hujjah dalam Islam, Al-qur’an yang merupakan Kalamullah adalah hujjah yang utama. Sehingga, jika terdapat sebuah hadis yang isinya bertentangan dengan Al-qur’an, sudah pasti hadis tersebut diragukan kebenarannya. Seperti kasus yang terdapat pada hadis di atas yang mengatakan “Abu Tholib wafat dalam keadaan kafir” dengan Al-qur’an surat Al Mujaadilah ayat 22 yang berbunyi “kamu tidak akan mendapati orang beriman saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rosulnya sekalipun itu keluarga mereka”.
Sehingga, jika memang kita dapati Abu Tholib sebagai orang kafir yang menentang Allah dan Rosulnya, tentu saja dia tidak mungkin dapat saling berkasih sayang dengan Nabi Saw, sekalipun terdapat hubungan kekeluargaan.  
          Namun pada kenyataannya, semenjak kecil Rosullulah justru hidup dalam naungan dan kasih sayang Sayidina Abu Tholib. Seperti yang terekam dalam sejarah, setelah kedua orangtuanya wafat, Rosullulah diasuh oleh kakeknya Sayidina Abdul Mutholib yang kemudian dilanjutkan oleh pamannya, yaitu Sayidina Abu Tholib. Bukan hanya itu, sikap yang sama juga ditunjukan Rosullulah kepada Sayidina Abu Tholib, dengan cara menjadikan dirinya sebagai pengasuh bagi anak-anak Sayidina Abu Tholib seperti Ali, Aqil, dan Ja’far. Sehingga jelas, hal tersebut merupakan salah satu bukti bahwa mereka termasuk orang yang saling berkasih sayang.
          Oleh karena itu, hal tersebut tentu saja menimbulkan dua kesimpulan di benak kita. Pertama, “apakah Rosullulah adalah seorang penentang ayat Al-qur’an?”, nauzubillah. Sebab, sikap beliau terhadap Abu Tholib bertentangan dengan perintah Al-qur’an yang melarang untuk saling berkasih sayang kepada orang yang menentang Allah sekalipun keluarganya sendiri. Atau yang kedua, yaitu Sayidina Abu Tholib bukanlah dari golongan seorang kafir, sehingga Rosullulah dapat saling berkasih sayang terhadapnya. Di antara dua kesimpulan tersebut, tentu saja logika orang awam sekalipun akan lebih memilih pernyataan yang kedua. Sebab, Rosullulah bukanlah seorang penentang Al-qur’an, melainkan sebagai pemegang amanatnya.
          Bukan hanya itu, dalam Al-qur’an surat Al Kahfi ayat 51 yang berbunyi “dan tidaklah aku mengambil orang-orang yang menyesatkan itu sebagai penolong” juga telah membantah bahwa Sayidina Abu Tholib adalah seorang kafir. Sebab, jika dia termasuk dalam golongan tersebut, tentu saja Allah tidak akan menjadikannya sebagai penolong. Namun sebagaimana kita ketahui bersama, Sayidina Abu Tholib bahkan telah menjadi penolong bagi agama yang mulia ini sebelum ada seorang muslim pun yang membela Islam. Sehingga setelah wafatnya beliau, Rosullulah terpaksa hijrah ke Madinah dikarenakan sudah tidak adanya lagi penolong baginya di Mekah.
          Oleh karenanya, jika kita masih kokoh dengan pendirian mengkafirkan Sayidina Abu Tholib, tentu saja kita harus mencoba mencari bukti lain. Sebab riwayat hadis yang mengatakan Sayidina Abu Tholib meninggal dalam keadaan kafir dikarenakan tidak mengucapkan syahadat pada akhir hayatnya, sangat diragukan kebenarannya. Terlebih, hadis tersebut telah bertentangan dengan berbagai ayat Al-qur’an yang merupakan pedoman setiap Muslim.
Sebaliknya, jika kita coba menelisik sejarah awal penyebaran agama Islam, kita justru akan mendapati Abu Tholib sebagai seorang Mukmin Quraish yang sejati. Pembelaannya terhadap Rosullulah, merupakan bukti keyakinannya yang hakiki terhadap Islam. Hal tersebut tentu saja bukan dilandasi atas dasar kekeluargaan, sebab pada kenyataannya tidak semua paman Nabi Saw bersedia membela Rosullulah, terlebih memberikan nyawanya seperti yang dilakukan Sayidina Abu Tholib.
          Terbukti pada masa awal dakwah Islam, pernah sekali waktu Rosullulah dilempari kotoran Unta oleh tiga orang Kafir Quraish ketika sedang sujud di Ka’bah. Beliau pun kemudian pulang dan berkata kepada Sayidina Abu Tholib, ” Paman, sejauhmana kecintaan Paman kepada saya?” Seperti biasanya, jika telah keluar ucapan seperti itu dari lisan Rosulluah, Abu Tholib akan langsung mengerti bahwa ada yang telah mengganggu Nabi Saw. Kemudian tanpa banyak bicara Abu Tholib segera mengambil pedangnya dan menuntun Rosullulah kembali ketempat di mana beliau telah dizhalimi. Ketika bertemu, ketiga pelaku tersebut pun langsung dipukul hingga jatuh oleh Sayidina Abu Tholib, beliaupun kemudian mengambil kotoran Unta yang telah dilemparkan kepada Rosul, serta kembali melemparkannya terhadap ketiga orang Kafir Quraish tersebut. Setelah melakukan pembelaan tersebut, Abu Tholib pun berkata kepada Rosullulah “apakah aku telah menunjukan kecintaanku kepada engkau ya Rosulullah?
          Bukan hanya itu, dengan lisan sucinya Rosullulah bahkan telah menggambarkan sosok Fatimah binti Assad yang merupakan istri Sayidina Abu Tholib dengan mengatakan, “Dia adalah ibuku setelah ibuku. Dia yang mengenyakan perutku ketika perut anak-anaknya masih lapar. Dia juga yang membelikan aku baju baru ketika anak-anaknya masih memakai baju yang lama.” Kini, semakin terlihat jelas bagaimana perlakuan keluarga Abu Tholib terhadapap Nabi Saw. Terlebih jika malam tiba, Abu Tholib yang memiliki tiga kamar tidur dalam rumahnya, selalu menggendong Nabi Saw dari kamar depan di mana Rasullulah biasa tidur dengan anak-anaknya ke kamar bagian dalam, agar Nabi Saw dapat lebih aman dan nyaman dikarenakan tidak perlu berbagi tempat tidur  dengan anak-anak Abu Tholib yang lain.
          Dengan sikapnya yang penuh kasih terhadap Rosullulah, lalu kenapa Abu Tholib dikafirkan? Jika satu-satunya alasan adalah tidak mengucapkan kalimat syahadat pada akhir hayatnya. Sekarang, tolong bawakan satu saja riwayat yang mana terdapat para sahabat lain yang pada saat menjelang ajalnya mengucapkan syahadat? Kemudian apakah ada ucapan Rosullulah yang mengatakan bahwa tolak ukur seseorang dikatakan Mukmin atau Kafir dengan mengucapkan syahadat pada saat menjelang ajalnya?
          Oleh karenanya, pertanyaan yang terakhir timbul adalah masih adakah yang mengkafirkan Sayidina Abu Tholib? Akan menjadi sangat aneh, jika setelah segala keterbukaan ini, masih terdapat di antara kita yang berkeyakinan mengkafirkan Sayidina Abu Tholib. Jika bagitu, dengan sangat yakin kita akan berkata bahwa Tuhan pun tidak akan dapat merubah pendiriannya. Wahai pembaca budiman yang masih berakal, lebih baik mari sekarang kita sama-sama mengangkat tangan dan mengucapkan “Ya Allah masukkanlah kami ke dalam api neraka yang di dalamnya ada Sayidina Abu Tholib dan jangan masukan kami ke dalam surga yang di dalamnya ada Abu Sufyan. Sebab akan sejuk neraka dengan adanya Sayidina Abu Tholib dan akan menjadi panas surga dengan adanya Abu Sufyan. Syukron Wassalam. 

created by A.H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar