Kamis, 03 Maret 2011

Kejahatan dunia maya di Indonesia

Modus operandi kejahatan 'dunia maya' (transaksi elektronik) di Indonesia telah pada tahap mengkhawatirkan dan merugikan banyak pihak, karena itu pemerintah dan DPR bertekad segera mensahkan RUU Informasi dan Traksaksi Elektronik (ITE).

"Jika RUU itu disahkan maka akan menjamin kepastian hukum bagi masyarakat melakukan transaksi secara elektronik," kata Dirjen Aplikasi Telematika, Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) RI, Ir Cahyana Ahmadjayadi di Padang, Selasa (29/05).

Hal itu disampaikannya terkait pembahasan RUU ITE yang tengah dilakukan DPR-RI dan kini dalam tahap sosialisasi kepada publik dengan melibatkan pemerintah (Departemen Komunikasi dan Informasi RI).

Terkait pentingnya pengesahan RUU itu, menurut dia, Depkominfo bersama Pansus RUU ITE patut terus mensosialisasikannya kepada masyarakat, mengingat cakupan materi yang diatur dalam RUU merupakan sesuatu yang relatif baru bagi publik.



Ia menjelaskan, pelanggaran hukum dalam transaksi elektronik di Indonesia merupakan fenomena yang sangat mengkhawatirkan saat ini. Pelanggaran itu meliputi kejahatan dalam bentuk tindakan, carding, hacking, cracking, phising, viruses, cybersquaring, pronografi, perjudian online dan transnasional crime.

Tindakan kejahatan itu dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi (TI) sebagai tools dan penyebaran informasi destruktif seperti cara pembuatan dan penggunaan bom telah menjadi bagian dari aktivitas pelaku kejahatan melalui internet ini.

Terhadap berbagai kejahatan Cyber Crime, pemerintah memandang RUU ITE sebagai instrumen yang mutlak diberlakukan bagi negara Indonesia, katanya. Hal itu, katanya, karena saat ini Indonesia kini menjadi satu negera yang telah menggunakan dan memanfaatkan teknologi informasi secara luas dan efisien, namun belum memiliki UU Cyber.

Ia menyebutkan, dalam sosialisasi kepada publik pada 17 daerah oleh Depkominfo dan Pansus DPR-RI tentang RUU ITE, mencuat banyak permintaan dari masyarakat agar RUU itu segera disahkan.

Menurut dia, selain untuk menjamin kepastian hukum bagi masyarakat yang melakukan transaksi secara elektronik, desakan segera disahkannya RUU ini juga terkait manfaatnya mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Alasan lain, RUU ini sebagai satu upaya mencegah terjadinya kejahatan berbasis teknologi informasi dan melindungi masyarakat pengguna jasa dengan memanfaatkan TI. Ia menyebutkan, terobosan baru dan penting dalam RUU ini meliputi, aturan tandatangan elektronik diakui memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tandatangan konvensional (memakai tinta basah atau materei).

Kemudian, alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHAP. UU ITE juga berlaku untuk tiap orang melakukan perbuatan hukum baik berada di wilayah Indonesia maupun luar negari namun memiliki akibat hukum di Indonesia.

Pentingnya RUU ini segara disahkan, karena fakta menunjukkan masyarakat umumnya dan pihak perbankan khususnya telah melakukan transaksi seluruhnya menggunakan teknologi informasi sebagai alat.

Berdasarkan data transaksi elektronik perbankan di Indonesia yang dikeluarkan BI tahun 2006 diketahui, jumlah transaksi melalui TI 1,027 miliar kali oleh 39,9 juta warga pemegang kartu elektronik dengan nilai mencapai Rp1.183,7 triliun.

Mengingat transaksi elektronik ini cenderung terus meningkat, maka sangat diperlukan payung hukum mengaturnya. Karena itu pengesahan RUU ITE menjadi penting dan mendesak, kata Cahyana Ahmadjayadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar